Naskah Khutbah Idul Adha 1438 H WUJUD KEPASRAHAN, KETUNDUKAN, DAN KETAATAN TOTAL KEPADA ALLAH SWT
بسم الله الرحمن الرحيم
WUJUD KEPASRAHAN,
KETUNDUKAN, DAN KETAATAN TOTAL
KEPADA ALLAH SWT
الله أكبر
3 x الله
أكبر 3 x
الله أكبر 3 x.
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ
كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ،
صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ هُوَ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِيْ كَرَّمَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَشَرِيْعَتِهِ الْكَامِلَةْ، وَخَصَّ
بِهَا بِنُبُوِّةِ نَبِيِّهِ الْكَرِيْمَةْ، وَ أَيَّدَهَا بِالْخِلاَفَةِ الرَّاشِدَةْ
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةْ.
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً
عَبْدُهُ أَرْسَلَهُ بِرِسَالَتِهِ الْقُدْسِيَّةْ، وَ أَحْكَامِهِ الشَّرِيْفَةْ،
لِمُعَالَجَةِ كُلِّ مُشْكِلَةٍ صَغِيْرَةٍ أَوْ كَبِيْرَةْ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْني وَ إِيِاكُمْ
بِتَقْوَاللهِ، لَعَلَّكْمْ تُفْلِحُوْنَ فِي الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ اْلأَخِرَةْ.
AlLâhu Akbar 3X, WaliLlâhilhamd.
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Pada hari ini, Alhamdulillah, sepantasnya dan selayaknya
kita bersyukur kepada Allah SWT, Yang dengan kasih-sayang-Nya, telah memberikan
banyak nikmat yang tiada tara kepada kita semua. Dialah
Yang telah mengumpulkan kita di tempat ini dalam keadaan sehat lahir-batin,
dalam rangka menunaikan shalat Idul Adha sekaligus merayakan Hari Raya Kurban.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa Allah SWT curah-limpahkan kepada satu-satunya
teladan kita, Baginda Rasulullah Muhammad saw.; kepada keluarga, para Sahabat,
para tâbi’in dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
AlLâhu Akbar 3X, WaliLlâhilhamd.
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Sebagaimana
kita ketahui, ada dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama: Peristiwa ibadah haji, yang
puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Sabda Nabi saw.:
اَلْحَجًّ
عَرَفَةَ
(Inti)
ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah (HR Ibn Majah dan at-Tirmidzi).
Terkait
dengan Hari Arafah, dalam sebuah hadis dinyatakan:
سُئِلَ
النَّبِيُّ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَالْبَاقِيَةَ
Nabi saw. pernah ditanya tentang shaum pada Hari Arafah. Beliau
menjawab, "Shaum Hari Arafah menghapus dosa setahun lalu dan dosa setahun
yang akan datang." (HR Muslim).
Kedua: Peristiwa
penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Pada hari
inilah seluruh jamaah haji di Tanah Suci maupun umat Islam di seluruh dunia, termasuk
kita yang hadir di tempat ini, merayakan Hari Raya Idul Adha.
AlLâhu Akbar 3X, WaliLlâhilhamd.
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Berkaitan dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah (pelajaran) berharga yang bisa kita
petik. Ibadah haji—sebagaimana halnya shalat, shaum dan ibadah-ibadah ritual
lainnya—sesungguhnya mengajarkan satu hal: kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah
SWT. Betapa tidak. Seorang Muslim,
yang mungkin terbiasa berpakaian mahal di negerinya, saat berhaji di Tanah Suci,
harus rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan
bahkan tak berjahit. Saat itu ia meninggalkan semua kemewahan duniawi Ia juga,
yang mungkin terbiasa hidup serba nyaman, saat berhaji harus rela dan pasrah
untuk ikut berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya saat melempar jumrah
atau sekadar untuk mencium Hajar Aswad.
Tak peduli rakyat jelata, pengusaha, penguasa, para pejabat ataupun para tokoh
terkenal; semuanya tak pernah 'memprotes' bagian ritual haji manapun yang
memang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun mungkin terasa
memberatkan serta memerlukan perjuangan dan banyak pengorbanan. Bahkan mereka
sangat ingin 'menyempurnakan' perjuangan dan pengorbanan tersebut dengan segala
daya.
Semua ini tentu saja mencerminkan kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total mereka kepada
Allah SWT, yang terkait dengan ibadah haji.
Ma’âsyiral-Muslimîn Rahimakumullâh:
Pertanyaannya: Lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah
haji? Sayang seribu kali sayang. Kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total
kepada Allah SWT sering tidak muncul pada sebagian
mereka di luar ibadah haji.
Kita, misalnya, masih sering menyaksikan sebagian kaum Muslim yang tak bersikap
pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mengharamkan riba. Bagi
sebagian Muslim, muamalah ribawi yang melibatkan perbankan, asuransi lembaga leasing atau yang serupa bahkan
seolah menjadi
kebutuhan dan gaya hidup. Yang lebih parah, Pemerintah adalah pelaku riba terbesar.
Bagaimana tidak? Penguasa negeri ini terus menumpuk utang luar negeri berbasis riba dengan
bunga yang sangat tinggi. Bank Indonesia (BI) meliris bahwa pada Triwulan II tahun ini utang luar negeri Indonesia
mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co,
23/8/2016).
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga
utang sebesar Rp 191,2 triliun. Adapun tahun depan cicilan
bunga yang harus dibayarkan Pemerintah mencapai Rp 221,4 triliun (Detik.com,
18/8/206). Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba termasuk
dosa besar. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT secara tegas
telah mengharamkan riba. Bahkan Allah SWT pun tegas menyatakan:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ - فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sia riba jika kalian benar-benar kaum Mukmin.
Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan riba), berarti kalian telah
memaklumkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya (QS al-Baqarah [2]: 278-279).
Baginda Rasulullah juga tegas menyatakan:
دِرْهَمُ
رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً
Satu dirham yang
dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya) daripada 36
kali zina (HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami).
Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk
100 kali atau dirajam sampai mati. Namun, riba ternyata jauh lebih besar
dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60 ribu) harta riba dosanya
lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari harta riba
sebanyak ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Kita
pun sering menjumpai para
penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada
Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi. Mereka pun berkali-kali berbohong,
melanggar janji dan menipu rakyatnya sendiri. Bahkan mereka tega menzalimi bangsanya sendiri, di
antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. UU Tax Amnesty yang baru saja
disahkan, misalnya, yang awalnya diniatkan untuk menyasar para pengusaha besar
yang banyak mengemplang pajak, disinyalir menyasar pula rakyat biasa yang telah terbebani oleh
berbagai pungutan pajak yang amat memberatkan mereka. Padahal Baginda
Rasulullah saw. telah bersabda:
مَا مِنْ
رَجُلٍ يَسْتَرْعَى رَعِيَّةً يَمُوْتُ حَيْنَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ
اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seseorang
diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi)
rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Pendek kata, berbeda dengan saat menyaksikan ibadah haji,
kita justru sering dihadapkan
pada kenyataan yang bertolak belakang. Betapa banyak kaum Muslim yang enggan pasrah, tunduk dan
taat kepada Allah SWT dalam seluruh aspek
kehidupan mereka. Betapa penguasa dan para elit wakil rakyat pun hingga saat
ini tetap menolak untuk menerapkan syariah Islam secara formal dalam kehidupan
bernegara. Padahal Allah SWT telah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
Hai orang-orang
beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]:
208).
Di
dalam tasfirnya, Aysar
at-Tafâsîr, Imam al-Jazairi menyatakan bahwa kata kaffat[an] dalam ayat
di atas bermakna jâmi’[‘an]. Karena itu, kata Imam al-Jazairi, tidak
boleh sedikit
pun kaum Muslim meninggalkan syariah dan hukum-hukum Islam.
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Yang tak kalah mengherankan, banyak di antara umat Islam,
khususnya para penguasanya, yang bahkan dengan berani dan lancang menuduh penerapan syariah
Islam di negeri ini sebagai hal yang
buruk dan berbahaya. Padahal jelas, Allah SWT mengutus Baginda Rasulullah
saw. ke tangah-tengah umat manusia dengan membawa risalah (syariah)-Nya tidak
lain demi mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Tak kalah lancangnya, penguasa negeri ini tetap mempertahankan
sistem demokrasi kufur dan tetap membuat aturan sendiri yang bersumber dari ideologi sekular
yang berasal hawa nafsu mereka. Padahal Allah SWT
tegas menyatakan:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?
Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Yang lebih mengherankan, ada di antara mereka berani menghalalkan
sesuatu yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkan. Misalnya, dengan berbagai
alasan, mereka tanpa malu-malu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir atas
kaum Mukmin. Padahal tegas Allah SWT menyatakan:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Hai orang-orang
beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Sebagian
mereka adalah penolong atas sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin, sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka (QS al-Maidah [5]:
51).
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Pada saat yang sama ada di antara mereka alah menolak dengan keras
kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, dengan berbagai alasan. Di antara mereka mengatakan bahwa Khilafah tidak
wajib ditegakkan. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah bukan saja
telah menjadi Ijmak Sahabat, tetapi juga telah menjadi Ijmak ulama. Saat menafsirkan kalimat ”Innî Jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah” (QS al-Baqarah
[2]: 20), Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan,
”Mengangkat imam (khalifah) adalah wajib. Tak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat)
tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini di kalangan umat Islam dan
para imam mazhab, kecuali yang diriwayatkan dari al-’Asham.”
Imam al-Jaziri, di
dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, juga menyatakan hal
serupa. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim juga menegaskan hal yang sama. Bahkan
menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami di dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25), para Sahabat telah menjadikan upaya
menegakkan Khilafah sebagai ahammi al-wâjibât (kewajiban paling penting).
Selain menolak kewajiban menegakkan Khilafah, mereka pun
berdalih bahwa jika ditegakkan Khilafah bisa memecah-belah, mengancam negara, dll. Tuduhan tersebut
tentu saja tuduhan palsu tanpa bukti.
Anehnya, mereka buta terhadap sekularisme dengan
neoliberalismenya, yang nyata-nyata telah merusak dan membangkrutkan negeri
ini. Mereka pun seolah menutup mata bahaya neoimperialisme yang
dilancarkan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika, Eropa dan Cina, melalui instrumen
utang luar negeri, investasi asing, pasar bebas, dll. Faktanya, akibat
neoliberalisme dan neoimperalisme, sebagian besar tanah dan air kita telah dikuasai asing;
demikian pula sebagian besar kekayaan negeri ini. Menurut
Data
Litbang Kompas 2011, hingga
tahun 2011 saja, asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara,
bouksit, nikel dan timah;’ 85% tembaga dan emas; dan
40%
perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar. Tak hanya itu, menurut Kompas (25/5/2011) pula, dengan
penerapan otonomi daerah yang cenderung liberal, hingga tahun 2011 saja sudah ada
8.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu
makin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan
mineral.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber
keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash
syariah, antara lain sabda Nabi saw.:
اَلنَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثَةٍ
:اَلْمَاءِ وَالْكَلأِ وَالنَّارِ
Umat manusia bersekutu (memiliki hak
yang sama) dalam tiga perkara: air, pedang gembalaan dan api (HR Ibn Majah).
Dalam hadis lain dinyatakan: Abyadh bin Ahmmal pernah
meminta tambang garam kepada Nabi saw. di daerah Ma’rib. Awalnya Nabi saw. hendak memberikan
tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, seseorang berkata, ”Tambang garam itu
seperti air yang mengalir (berlimpah, red.).” Seketika Nabi saw. pun menolak untuk
memberikan tambang garam itu kepada Abyadh (HR al-Baihaqi, ad-Daruquthni
dan ad-Darimi).
Allâhu Akbar 3X, WaliLlâhilhamd.
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Sementara itu, terkait dengan ritual penyembelihan hewan
kurban pada Hari Raya Idul Adha ini, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan Nabi Ibrahim as.
dan putranya, Nabi Ismail as., dalam menjalankan perintah Allah SWT. Keduanya dengan
ikhlas menunaikan perintah Allah SWT meski harus mengorbankan
sesuatu yang paling mereka cintai. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail tak
keberatan kehilangan nyawanya. Tentu kepasrahan, ketundukan, ketaatan dan
pengorbanan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita.
Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai
kewajiban yang harus dikerjakan. Di antara kewajiban itu adalah menerapkan
syariah Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan kita; dalam ibadah ritual; dalam
hal makanan, pakaian dan akhlak; dalam muamalah yang meliputi sistem pemerintahan,
sistem ekonomi, sistem pergaulan, strategi pendidikan dan politik luar negeri; juga
dalam 'uqubat yang
memberikan ketentuan mengenai ragam sanksi hukum atas setiap pelaku kriminal.
Keseluruhan syariah itu wajib kita terapkan. Tak boleh
ada yang diabaikan, ditelantarkan, apalagi didustakan. Tindakan mengimani
sebagian syariah dan mengingkari sebagian lainnya hanya akan mengantarkan kita pada
kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan fakta itu, jelas keberadaan negara yang
menjalankan syariah Allah SWT menjadi wajib. Sebab, tanpa adanya negara, yakni
Khilafah, niscaya sebagian besar syariah akan tetap terlantar sebagaimana saat
ini. Dalam kaidah ushul fikih dinyatakan:
مَا لاَ يَتِمُ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ
فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu,
maka sesuatu itu juga wajib adanya.
Allâhu Akbar 3X, WaliLlâhilhamd
Ma’âsyiral-Muslimîn RahimakumulLâh:
Alhasil, jika hikmah (pelajaran) dari haji dan kurban
adalah kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT, maka semua
itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan nyata di luar haji dan kurban.
Untuk itu, mari kita buktikan kepasrahan, ketundukan dan
ketaatan total kita kepada Allah SWT itu dengan sama-sama berjuang menerapkan
syariah-Nya secara kaffâh dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ’ala
Minhâj an-Nubuwwah.
Terakhir, marilah
kita sama-sama berdoa dengan penuh kerendahan hati kepada Allah SWT, agar umat
ini senantiasa diliputi dengan rahmat dan keberkahan-Nya dalam seluruh aspek
kehidupan mereka melalui tegaknya syariah dan Khilafah ar-Rasyidah ‘ala
Minhâj an-Nubuwwah.
أَعُوْذُ
بِاللهِ السَّمِيْعِ اْلعَلِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ، وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، كَماَ صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ. وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلىَ
آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي
اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Ya Allah, ya Tuhan kami,
maafkanlah dosa-dosa kami; karena dalam shalat-shalat kami Engkau kami besarkan
dan kami agungkan, namun di luar itu Engkau acapkali kami kecilkan dan kami
kerdilkan.
Ya Allah, ya Tuhan kami,
maafkanlah kesalahan-kesalahan kami; karena di dalam ibadah haji kami
merendahkan diri, namun di luar itu kami menyombongkan diri sendiri.
Ya Allah, ya tuhan kami,
maafkanlah kami. Setiap saat Engkau kami sucikan dan kami istimewakan dalam
ritual ibadah-ibadah kami. Namun, di luar itu Engkau kami kotori dan kami cemari
dengan dosa-dosa kami di dalam banyak aspek kehidupan kami.
Ya Allah, ya Tuhan kami, maafkanlah
kami. Syariah-Mu telah lama kami tanggalkan; perintah-larangan-Mu sudah lama
kami tinggalkan; Kitab Suci-Mu telah lama kami campakkan; sunnah-sunnah Nabi-Mu
pun telah lama kami lemparkan.
Karena itu, ya Allah, ya Tuhan
kami, maafkan kami atas kebodohan, keangkuhan dan segala kemunafikan kami yang
sesungguhnya tak termaafkan.
Namun, hanya karena satu keyakinan,
maaf-Mu tak terperikan, ampunan-Mu tak tergambarkan dan kasih-sayang-Mu tak
terukurkan; kami bersimpuh di hadapan kebesaran-Mu dan bersujud di haribaan
ketinggian-Mu seraya berharap gugurnya dosa-dosa kami dan hapusnya kesalahan-kesalahan
kami.
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَ لِوَالِدَيْنَا
وَ ارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَ صِغَارًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الأَمْوَاتِ. إِنّكَ قَرِيْبٌ
مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ، يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا
الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنا، وَأَصْلِحْ لنا دُنْيَانا الَّتِي فِيهَا مَعَاشُنَا،
وَأَصْلِحْ لنا آخِرَتَنَا الَّتِي فِيهَا مَعَادُنا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً
لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ
وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ. اَللَّهُمَّ
عَذِّبِ الْكَفَرَةَ الذِّيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ
وَيُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَاءَكَ.
اَللَّهُمَّ اَهْزِمْهُمْ وَدَمِّرْهُمْ،
وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ، وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُمْ فِيْ تَدْبِيْرِهِمْ.
اَللَّهُمَّ اهْزِمْ جُيُوْشَ الْكُفَّارَ الْمُسْتَعْمِرِيْنَ، أَمْرِيْكَا وَ رُوْسِيَا
وَحُلَفَاءِهَا الْمَلْعُوْنِيْنَ.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ
الْخِلاَفَةَ الرَّاشِدَةَ عَلَى مِنْهَاجِ نَبِيِّكَ، تُعِزُّ بِهَا دِيْنَكَ وَتُذِلُّ
بِهَا الْكُفْرَ وَطُغْيَانَهُ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَيَاخَيْرَ
النَّاصِرِيْنَ. و الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
—o0o—
Baca Juga
Post a Comment
Post a Comment
Gunakan Bahasa Komentar Yang Baik, Sopan, Benar dan Bijak. Trimakasih :)